LIMA PURNAMA DARI AYAH
Bulan purnama sudah memancarkan sinarnya sejak petang tadi, indah sekali, sinarnya yang putih membuatku tenang meskipun aku berada dalam penantian panjang. Ayahku belum kembali dari rantauannya. Sudah tiga bulan purnama aku lewati tanpa kehadiran seorang ayah di sampingku.
“Kamu baik-baik saja ya di rumah, jaga adikmu! Bilang ke adikmu ayah pasti kembali!” ayah mengusap rambutku dengan lembut, dikecupnya keningku dengan sayang.
“Ayah mau kemana?” tanyaku ke ayah, kupeluk tubuh kekarnya, tak bisa kupungkiri sejak kepergian ibu tiga tahun yang lalu ayahlah yang menggantikan posisi ibu untuk aku dan adikku, Dewa. Aku tak tahu ibuku pergi kemana, beliau sudah tak ada kabarnya sejak tiga tahun lalu. “Yah, ibu kemana? Kok gak pulang-pulang?” tiap kali ku ajukan pertanyaan itu selalu saja dijawab ayah dengan lembut. “Ibu lagi cari uang, untuk Dewi dan Dewa!” aku bosan dengan jawaban itu. Aku ingin jawaban yang lebih! “Ibumu gak akan pernah kembali, Ia sudah senang hidup dengan lelaki kaya!” suatu ketika tetanggaku bicara itu padaku. Betapa hancurnya hatiku ketika itu, aku rapuh, aku lemah, aku hancur, dan aku terluka. Ayahku hanya seorang tukang kebun di sebuah sekolah dasar, gajinya hanya cukup untuk makan. Tapi aku tak pernah merasa malu dengan itu, tapi entah dengan ibuku. Mungkin beliau malu, untuk mengakui jika suaminya hanyalah seorang tukang kebun. Untuk sekolahku dan Dewa, kami mendapat beasiswa, ya aku mendapat beasiswa prestasi dari sekolah. Tanpa kehadiran seorang Ibu di sampingku, aku tetap bisa meraih nem tertinggi di kotaku. Namun aku akan selalu merindukan kehadiran ibu sampai kapanpun.
“Ayah akan mencari ibumu, Nak? Kamu pasti akan senang jika ibu kembali lagi ditengah-tengah kita!” aku terkejut mendengar ucapan ayah, namun aku tak bisa mencegah kepergian ayah. Aku juga ingin ibu kembali!
“Tapi kapan ayah pulang?” tanyaku lagi, aku masih tak rela jika ayah harus pergi juga.
“Sampai ibumu kembali pada kita, atau tunggu ayah hingga purnama kelima. Ayah pasti kembali pada hari itu!” ayah meyakinkanku, dan aku hanya bisa menatap kepergian ayah dengan derai air mata yang tak pernah lepas dari pipiku sejak ayah memutuskan untuk pergi.
“Sudahlah Dewi, ayah akan kembali membawa ibumu. Pecayalah!!” dikecupnya keningku sekali lagi, kemudian beliau pergi membawa sebuah tas jinjing warna merah kusam, di bagian bawah tambalan kain warna hijau terlihat jelas, dan jahitan pada saku depannya hampir terlepas.
“Aku sa…yang ayah!!!” kuteriakkan kata terakhir untuk ayahku yang sudah berada di atas becak tetanggaku, perlahan becak itu pergi meninggalkan aku sendiri.
“Ayah juga sayang Dewi dan Dewa!!” ayah membalas teriakanku dan melambaikan tangannya padaku. Akupun membalas lambaiannya. Dewa kali ini tak ada di rumah, ia mungkin sedang bermain gundu bersama temannya, atau mungkin ia sedang mandi di kali seberang. Entahlah yang penting dia tak tahu kepergian ayah. Ayah tak akan mungkin bisa pergi jika ia melihat Dewa di hadapannya. Ayah sengaja meninggalkan Dewa tanpa pamit. Ayah menyerahkan semuanya padaku. Meskipun aku sudah kelas satu smu, tapi aku merasa ini beban terberat yang aku alami.
* * *
“Mbak Dewi, ayah kemana? Kok sudah dua hari ayah gak pulang?” tiba-tiba Dewa menanyakan sesuatu yang sudah aku duga sebelumnya, meskipun begitu aku masih merasa enggan untuk menceritakan sesungguhnya.
“Ayah sedang cari uang untuk biaya kita sekolah besok! Dewa maukan kalau Dewa jadi orang yang pinter?” hatiku menangis harus melakukan kebohongan ini, tapi aku juga tak ingin Dewa yang masih kelas dua SD harus menerima kenyataan pahit, kalau kedua orangtuanya tak ada di sampingnya. Sekarang ini aku harus jadi kakak, ibu, bahkan ayah untuk Dewa.
“Ayah baik banget ya Mbak! Mau susah-susah cari uang untuk kita berdua, padahal kan kita gak pernah carikan uang untuk ayah!” Dewa berceloteh dengan polosnya, aku hanya bisa tersenyum di atas tangisanku.
“Mbak Dewi, kalau Dewa gede nanti, Dewa mau jadi pilot biar ayah kalau mau cari uang gak perlu bayar!” tak kuasa buliran-buliran lembut mengalir deras di pipiku. Aku tak mampu lagi jika harus membayangkan adikku tahu semuanya, aku tak ingin keceriaan dan masa-masa indahnya harus hancur.
* * *
Ku pandangi lagi bulan purnama yang bulat, semakin aku menatap bulan itu semakin terlihat jelas bayangan ayah. Ayah tersenyum padaku. Mungkin ayah sudah membujuk ibu di sana untuk pulang. Dan mungkin kurang dari dua purnama lagi ayah akan kembali dengan membawa ibu pulang. Aku tersenyum sendiri, Dewa sudah terlelap di mimpi indahnya. Harapan dan khayalan tentang keluarga yang utuh hampir membayangiku tiap waktu. Tiga purnama telah ayah berikan untukku. Di purnama kedua ayah menelponku lewat tetanggaku yang memiliki pesawat telpon.
“Dewi, ayah di sini baik-baik saja, ayah sudah tahu di mana ibumu…”
“Benarkah ayah?” tanyaku tak percaya.
“Tapi ibumu enggan ayah ajak pulang….” Ayah menghela napas panjang, seakan ingin membuang semua beban di hatinya.
“Kenapa ayah? tidak rindukah ibu dengan Dewi dan Dewa?” tanyaku lagi aku hampir menangis dan pastinya rasa emosiku hampir saja memuncak.
“Sudahlah Dew, ayah akan mencoba lagi, kamu tenang ya!” ayahku tetap saja teguh pada pendiriannya, ayah masih berharap kalau ibu mau di ajak pulang lagi. Kalimat yang diucapkan tetanggaku waktu itu kembali terngiang di telingaku.
“Ayah… ibu pasti sudah bahagia dengan laki-laki kaya di sana?” aku mencoba mengeluarkan kalimat ini, karena sudah tak kuat lagi aku untuk menyimpannya di hatiku.
“Dewi!! Kamu gak boleh bicara seperti itu pada ibumu! Meskipun dia pernah menyakiti hati kita, tapi dia tetep ibumu, ibu yang melahirkan kamu, ibu yang menyusui kamu!” terdengar nada suara ayah agak tinggi, pasti beliau merasa tersinggung dengan ucapanku tadi.
“Maafkan Dewi yah!”
“Udah Dew, jaga Dewa baik-baik sampai ayah pulang! Ayah sayang Dewi dan Dewa!”
“Dewi juga sayang ayah!”
Ayah masih terdengar sangat tegar dan setia, meskipun aku tahu tak sekali ibu mengkhianati cinta ayah. Namun ayah begitu tulus mencintai ibu. Ayah selalu bilang padaku bahwa pengkhianatan tak harus dibalas dengan pengkhianatan. Cukup dengan tersenyum ikhlas, dan semua rasa sakit hati akan hilang. Masih teringat jelas wajah ayah ketika kami masih menjadi keluarga yang utuh. Senyumnya selalu membuatku nyaman berada di dekatnya, tutur katanya lembut sehingga aku merasa ayah bukan ayahku melainkan sahabatku, tubuhnya yang kekar selalu melindungiku dari ancaman bahaya, dan tak pernah sekalipun beliau marah padaku. Ketika aku melakukan kesalahan beliau hanya mengingatkanku dan tak pernah juga kata-kata kasar keluar dari bibirnya yang indah. Sejak kepergian ibu, tubuh kekar ayahku perlahan digerogoti penyakit yang tak pernah absen mengunjunginya. Rambutnya yang hitam legam kini sebagian telah berubah menjadi helaian-helaian uban. Langkah tegap ayah terkadang harus tertatih karena penyakitnya tak pernah mengenal tempat di mana ia berada. Namun kepribadian ayah masih tetap bisa ku lihat, ayah tak pernah mengeluh meskipun begitu.
* * *
Purnama keempat telah datang hari ini, sinarnya masih seperti purnama yang lalu. Memancarkan kebahagiaan. Tapi kali ini hatiku tak seperti yang lalu, semakin dekat dengan kepulangan ayah. Rasa rindu yang begitu mendalam ingin sekali aku bertemu dengan sosok ayah.
“Ayah cepat kembali! Dewi kangen ayah!” aku bicara pada purnama itu, aku berharap ia bisa menyampaikan pesanku pada ayah. Di manapun ayah berada aku hanya ingin ayah cepat kembali. Empat purnama bukanlah waktu yang singkat untukku menghadapi hidup seorang diri. Tiba-tiba aku teringat sesuatu, ya sesuatu yang semuanya berawal dari ini…….
“Sudahlah…aku sudah tak sanggup hidup serba kekurangan seperti ini! Aku tak sanggup Mas! Bukankah engkau dulu berjanji jika kau akan membahagiakan aku sebagaimana orang tuaku membahagiakan aku? Tapi apa buktinya? Dua belas tahun bukanlah waktu yang sedikit untuk aku menunggu janjimu!” aku mendengar pertengkaran ayah dan ibuku dari kamar tidurku, waktu itu aku hanya bisa menangis. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan.
“Tapi bisakah kamu lebih bersabar, suatu saat nanti semua janjiku pasti akan terpenuhi!” ayah masih tetap tenang.
“Sampai kapan, Mas? Sampai aku menjamur menjadi istrimu?” ibu membentak ayah, hatiku miris.
“Sekarang Dewi dan Dewa masih butuh kasih sayangmu, tegakah kamu membiarkan mereka tumbuh tanpa hadirnya seorang ibu di sampingnya?”
“Dewi dan Dewa hanya butuh uang! Mereka butuh uang untuk biaya sekolah mereka! Besok aku akan pergi ke kota cari kerja biar kita tak lagi kekurangan. Aku bosan Mas hidup seperti ini!” kemudian ibu berlalu dari hadapan ayah. Aku tak tahu apa yang dipikirkan ibu saat itu.
“Ibu jangan pergi……!” rengekku ketika aku melihat ibuku dijemput oleh mobil mewah di halaman rumahku.
“Kamu di rumah sama ayah ya Nak! Baik-baik di rumah. Ibu sayang kamu!” diciumnya pipiku. Kemudian ibu masuk ke mobil mewah itu. Mobil berwarna ungu itu telah membawa ibuku pergi. Entah pergi kemana. Bahkan sampai detik ini pun aku tak tahu ibuku di mana.
“Ibu… Dewi ikuuuttt!!!” aku mencoba berlari mengejar mobil ungu itu, aku mencoba meraih kaca pintu agar aku bisa melihat ibuku lagi, tapi apa daya mobil itu tetap melaju bahkan kecepatannya bertambah. Aku terjatuh, lututku terluka parah. Aku menangis. Tangisku bukan karena sakit di lututku, tapi sakit di hatiku. Aku merasa ibu tak sayang lagi padaku. Ibu memilih pergi daripada menemaniku belajar. Begitu sakit rasanya, ketika melihat ibu yang selalu kutulis dalam puisi-puisi ku sebagai wanita agung kini harus pergi meninggalkanku dalam keterpurukan.
Sejak saat itu, hari-hari yang ku lalui tak seindah dulu, meskipun ayah tak kurang-kurang mencurahkan kasih sayangnya padaku namun aku merasa masih ada yang kurang dalam hidupku.
Tinggal satu purnama lagi akan kulalui tanpa hadirnya seorang ayah, purnama kelima ayah akan pulang menepati janjinya padaku maupun pada Dewa. Aku sudah sangat senang, jika ayah cepat kembali meskipun beliau hadir tanpa ibu di sisinya. Tak sabar rasanya melewati satu purnama lagi untuk melihat ayah kembali. “Ayah Dewi sayang ayah!!”
* * *
Ku buka jendela kamarku, udara pagi begitu sejuknya hari ini purnama kelima, ayah akan kembali hari ini! Aku tersenyum bahagia, kukecup kening Dewa yang masih terlelap. Aku ingin melihatnya bermain bersama ayah lagi. Aku ingin ketika ayah datang, beliau membawa ibu! Seperti yang selalu diimpikan ayah selama ini. Aku ingin melihat mereka kembali bahagia dalam hangatnya canda.
Setiap detik terasa sangat lama sekali, ku lihat waktu menunjukkan pukul lima sore, ayah belum juga kembali padahal purnama sebentar lagi menampakkan wajah eloknya. Jangan-jangan ayah lupa? Gak ayah gak mungkin lupa, ayah selalu menepati janjinya dengan baik. Ayah bukan seorang pengumbar janji seperti para wakil rakyat.
Terdengar suara gaduh di luar rumah. Aku berharap itu ayah yang membawa pulang ibu dan disambut meriah oleh warga kampung. Aku bergegas keluar rumah melihat apa yang telah terjadi.
“Maaf ini rumahnya Dewi?” tiba-tiba dua orang laki-laki berbadan tegap menghampiriku di teras rumah.
“Ya…saya sendiri. Maaf bapak siapa ya?” aku bertanya dengan penuh keheranan.
“Kami dari kepolisian, kami yang mengurus jenazah ayah anda!” kalimat yang membuatku lemas seakan tulang-tulangku tak ada yang menempel di tubuhku.
“Jenazah ayah?” aku tak percaya akan kalimat itu.
“Ya…ayah anda tertabrak kereta api kemarin malam. Jenazahnya akan segera datang hari ini!” salah satu dari polisi itu menjelaskan, aku sudah tak kuasa lagi untuk berdiri. Tak ada air mata lagi yang ku keluarkan, air mataku telah kering.
“Maaf Mbak Dewi, kami menemukan kertas ini di saku korban!” polisi itu menyerahkan kertas putih yang sebagian terlumuri oleh darah. Darah ayah! Ku terima kertas itu dengan tangan gemetar.
Dewi dan Dewa anakku,
Maafkan ayah Nak, karena ayah tak bisa menepati janji akan bertemu kalian di purnama kelima. Percayalah kalian bisa menghadapi kehidupan ini tanpa ayah dan ibu. Karena Tuhan tidak akan memberikan cobaan kepada umatnya melebihi kemampuannya. Ayah juga minta maaf pada kalian karena selama lima purnama ini ayah menyembunyikan sesuatu dari kalian. Sebenarnya, ibu kalian telah tiada satu tahun yang lalu. Ibu tak kuat menahan semua derita hidupnya selama di kota. Ia mengiris nadinya sendiri, dan ibu tidak bisa tertolong. Darah yang dikeluarkannya terlalu banyak. Jika kalian rindu pada ayah dan ibu tataplah langit terlebih apabila purnama datang. Kerinduan kalian akan terobati. Percayalah ayah dan ibu akan selalu ada di dekat kalian. Peluk dan cium dari ayah dan ibu akan selalu bersama kalian.
Tak terasa surat itu jatuh dari genggamanku, seiring itu jenazah ayah telah datang, aku berlari menuju mobil ambulans. Kulihat ayah terbujur kaku di dalam peti mati. Namun senyumnya masih sempat kulihat di wajahnya yang pucat. Ku peluk erat jenazah ayahku. “Selamat Jalan Ayahku,….”
“Kamu baik-baik saja ya di rumah, jaga adikmu! Bilang ke adikmu ayah pasti kembali!” ayah mengusap rambutku dengan lembut, dikecupnya keningku dengan sayang.
“Ayah mau kemana?” tanyaku ke ayah, kupeluk tubuh kekarnya, tak bisa kupungkiri sejak kepergian ibu tiga tahun yang lalu ayahlah yang menggantikan posisi ibu untuk aku dan adikku, Dewa. Aku tak tahu ibuku pergi kemana, beliau sudah tak ada kabarnya sejak tiga tahun lalu. “Yah, ibu kemana? Kok gak pulang-pulang?” tiap kali ku ajukan pertanyaan itu selalu saja dijawab ayah dengan lembut. “Ibu lagi cari uang, untuk Dewi dan Dewa!” aku bosan dengan jawaban itu. Aku ingin jawaban yang lebih! “Ibumu gak akan pernah kembali, Ia sudah senang hidup dengan lelaki kaya!” suatu ketika tetanggaku bicara itu padaku. Betapa hancurnya hatiku ketika itu, aku rapuh, aku lemah, aku hancur, dan aku terluka. Ayahku hanya seorang tukang kebun di sebuah sekolah dasar, gajinya hanya cukup untuk makan. Tapi aku tak pernah merasa malu dengan itu, tapi entah dengan ibuku. Mungkin beliau malu, untuk mengakui jika suaminya hanyalah seorang tukang kebun. Untuk sekolahku dan Dewa, kami mendapat beasiswa, ya aku mendapat beasiswa prestasi dari sekolah. Tanpa kehadiran seorang Ibu di sampingku, aku tetap bisa meraih nem tertinggi di kotaku. Namun aku akan selalu merindukan kehadiran ibu sampai kapanpun.
“Ayah akan mencari ibumu, Nak? Kamu pasti akan senang jika ibu kembali lagi ditengah-tengah kita!” aku terkejut mendengar ucapan ayah, namun aku tak bisa mencegah kepergian ayah. Aku juga ingin ibu kembali!
“Tapi kapan ayah pulang?” tanyaku lagi, aku masih tak rela jika ayah harus pergi juga.
“Sampai ibumu kembali pada kita, atau tunggu ayah hingga purnama kelima. Ayah pasti kembali pada hari itu!” ayah meyakinkanku, dan aku hanya bisa menatap kepergian ayah dengan derai air mata yang tak pernah lepas dari pipiku sejak ayah memutuskan untuk pergi.
“Sudahlah Dewi, ayah akan kembali membawa ibumu. Pecayalah!!” dikecupnya keningku sekali lagi, kemudian beliau pergi membawa sebuah tas jinjing warna merah kusam, di bagian bawah tambalan kain warna hijau terlihat jelas, dan jahitan pada saku depannya hampir terlepas.
“Aku sa…yang ayah!!!” kuteriakkan kata terakhir untuk ayahku yang sudah berada di atas becak tetanggaku, perlahan becak itu pergi meninggalkan aku sendiri.
“Ayah juga sayang Dewi dan Dewa!!” ayah membalas teriakanku dan melambaikan tangannya padaku. Akupun membalas lambaiannya. Dewa kali ini tak ada di rumah, ia mungkin sedang bermain gundu bersama temannya, atau mungkin ia sedang mandi di kali seberang. Entahlah yang penting dia tak tahu kepergian ayah. Ayah tak akan mungkin bisa pergi jika ia melihat Dewa di hadapannya. Ayah sengaja meninggalkan Dewa tanpa pamit. Ayah menyerahkan semuanya padaku. Meskipun aku sudah kelas satu smu, tapi aku merasa ini beban terberat yang aku alami.
* * *
“Mbak Dewi, ayah kemana? Kok sudah dua hari ayah gak pulang?” tiba-tiba Dewa menanyakan sesuatu yang sudah aku duga sebelumnya, meskipun begitu aku masih merasa enggan untuk menceritakan sesungguhnya.
“Ayah sedang cari uang untuk biaya kita sekolah besok! Dewa maukan kalau Dewa jadi orang yang pinter?” hatiku menangis harus melakukan kebohongan ini, tapi aku juga tak ingin Dewa yang masih kelas dua SD harus menerima kenyataan pahit, kalau kedua orangtuanya tak ada di sampingnya. Sekarang ini aku harus jadi kakak, ibu, bahkan ayah untuk Dewa.
“Ayah baik banget ya Mbak! Mau susah-susah cari uang untuk kita berdua, padahal kan kita gak pernah carikan uang untuk ayah!” Dewa berceloteh dengan polosnya, aku hanya bisa tersenyum di atas tangisanku.
“Mbak Dewi, kalau Dewa gede nanti, Dewa mau jadi pilot biar ayah kalau mau cari uang gak perlu bayar!” tak kuasa buliran-buliran lembut mengalir deras di pipiku. Aku tak mampu lagi jika harus membayangkan adikku tahu semuanya, aku tak ingin keceriaan dan masa-masa indahnya harus hancur.
* * *
Ku pandangi lagi bulan purnama yang bulat, semakin aku menatap bulan itu semakin terlihat jelas bayangan ayah. Ayah tersenyum padaku. Mungkin ayah sudah membujuk ibu di sana untuk pulang. Dan mungkin kurang dari dua purnama lagi ayah akan kembali dengan membawa ibu pulang. Aku tersenyum sendiri, Dewa sudah terlelap di mimpi indahnya. Harapan dan khayalan tentang keluarga yang utuh hampir membayangiku tiap waktu. Tiga purnama telah ayah berikan untukku. Di purnama kedua ayah menelponku lewat tetanggaku yang memiliki pesawat telpon.
“Dewi, ayah di sini baik-baik saja, ayah sudah tahu di mana ibumu…”
“Benarkah ayah?” tanyaku tak percaya.
“Tapi ibumu enggan ayah ajak pulang….” Ayah menghela napas panjang, seakan ingin membuang semua beban di hatinya.
“Kenapa ayah? tidak rindukah ibu dengan Dewi dan Dewa?” tanyaku lagi aku hampir menangis dan pastinya rasa emosiku hampir saja memuncak.
“Sudahlah Dew, ayah akan mencoba lagi, kamu tenang ya!” ayahku tetap saja teguh pada pendiriannya, ayah masih berharap kalau ibu mau di ajak pulang lagi. Kalimat yang diucapkan tetanggaku waktu itu kembali terngiang di telingaku.
“Ayah… ibu pasti sudah bahagia dengan laki-laki kaya di sana?” aku mencoba mengeluarkan kalimat ini, karena sudah tak kuat lagi aku untuk menyimpannya di hatiku.
“Dewi!! Kamu gak boleh bicara seperti itu pada ibumu! Meskipun dia pernah menyakiti hati kita, tapi dia tetep ibumu, ibu yang melahirkan kamu, ibu yang menyusui kamu!” terdengar nada suara ayah agak tinggi, pasti beliau merasa tersinggung dengan ucapanku tadi.
“Maafkan Dewi yah!”
“Udah Dew, jaga Dewa baik-baik sampai ayah pulang! Ayah sayang Dewi dan Dewa!”
“Dewi juga sayang ayah!”
Ayah masih terdengar sangat tegar dan setia, meskipun aku tahu tak sekali ibu mengkhianati cinta ayah. Namun ayah begitu tulus mencintai ibu. Ayah selalu bilang padaku bahwa pengkhianatan tak harus dibalas dengan pengkhianatan. Cukup dengan tersenyum ikhlas, dan semua rasa sakit hati akan hilang. Masih teringat jelas wajah ayah ketika kami masih menjadi keluarga yang utuh. Senyumnya selalu membuatku nyaman berada di dekatnya, tutur katanya lembut sehingga aku merasa ayah bukan ayahku melainkan sahabatku, tubuhnya yang kekar selalu melindungiku dari ancaman bahaya, dan tak pernah sekalipun beliau marah padaku. Ketika aku melakukan kesalahan beliau hanya mengingatkanku dan tak pernah juga kata-kata kasar keluar dari bibirnya yang indah. Sejak kepergian ibu, tubuh kekar ayahku perlahan digerogoti penyakit yang tak pernah absen mengunjunginya. Rambutnya yang hitam legam kini sebagian telah berubah menjadi helaian-helaian uban. Langkah tegap ayah terkadang harus tertatih karena penyakitnya tak pernah mengenal tempat di mana ia berada. Namun kepribadian ayah masih tetap bisa ku lihat, ayah tak pernah mengeluh meskipun begitu.
* * *
Purnama keempat telah datang hari ini, sinarnya masih seperti purnama yang lalu. Memancarkan kebahagiaan. Tapi kali ini hatiku tak seperti yang lalu, semakin dekat dengan kepulangan ayah. Rasa rindu yang begitu mendalam ingin sekali aku bertemu dengan sosok ayah.
“Ayah cepat kembali! Dewi kangen ayah!” aku bicara pada purnama itu, aku berharap ia bisa menyampaikan pesanku pada ayah. Di manapun ayah berada aku hanya ingin ayah cepat kembali. Empat purnama bukanlah waktu yang singkat untukku menghadapi hidup seorang diri. Tiba-tiba aku teringat sesuatu, ya sesuatu yang semuanya berawal dari ini…….
“Sudahlah…aku sudah tak sanggup hidup serba kekurangan seperti ini! Aku tak sanggup Mas! Bukankah engkau dulu berjanji jika kau akan membahagiakan aku sebagaimana orang tuaku membahagiakan aku? Tapi apa buktinya? Dua belas tahun bukanlah waktu yang sedikit untuk aku menunggu janjimu!” aku mendengar pertengkaran ayah dan ibuku dari kamar tidurku, waktu itu aku hanya bisa menangis. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan.
“Tapi bisakah kamu lebih bersabar, suatu saat nanti semua janjiku pasti akan terpenuhi!” ayah masih tetap tenang.
“Sampai kapan, Mas? Sampai aku menjamur menjadi istrimu?” ibu membentak ayah, hatiku miris.
“Sekarang Dewi dan Dewa masih butuh kasih sayangmu, tegakah kamu membiarkan mereka tumbuh tanpa hadirnya seorang ibu di sampingnya?”
“Dewi dan Dewa hanya butuh uang! Mereka butuh uang untuk biaya sekolah mereka! Besok aku akan pergi ke kota cari kerja biar kita tak lagi kekurangan. Aku bosan Mas hidup seperti ini!” kemudian ibu berlalu dari hadapan ayah. Aku tak tahu apa yang dipikirkan ibu saat itu.
“Ibu jangan pergi……!” rengekku ketika aku melihat ibuku dijemput oleh mobil mewah di halaman rumahku.
“Kamu di rumah sama ayah ya Nak! Baik-baik di rumah. Ibu sayang kamu!” diciumnya pipiku. Kemudian ibu masuk ke mobil mewah itu. Mobil berwarna ungu itu telah membawa ibuku pergi. Entah pergi kemana. Bahkan sampai detik ini pun aku tak tahu ibuku di mana.
“Ibu… Dewi ikuuuttt!!!” aku mencoba berlari mengejar mobil ungu itu, aku mencoba meraih kaca pintu agar aku bisa melihat ibuku lagi, tapi apa daya mobil itu tetap melaju bahkan kecepatannya bertambah. Aku terjatuh, lututku terluka parah. Aku menangis. Tangisku bukan karena sakit di lututku, tapi sakit di hatiku. Aku merasa ibu tak sayang lagi padaku. Ibu memilih pergi daripada menemaniku belajar. Begitu sakit rasanya, ketika melihat ibu yang selalu kutulis dalam puisi-puisi ku sebagai wanita agung kini harus pergi meninggalkanku dalam keterpurukan.
Sejak saat itu, hari-hari yang ku lalui tak seindah dulu, meskipun ayah tak kurang-kurang mencurahkan kasih sayangnya padaku namun aku merasa masih ada yang kurang dalam hidupku.
Tinggal satu purnama lagi akan kulalui tanpa hadirnya seorang ayah, purnama kelima ayah akan pulang menepati janjinya padaku maupun pada Dewa. Aku sudah sangat senang, jika ayah cepat kembali meskipun beliau hadir tanpa ibu di sisinya. Tak sabar rasanya melewati satu purnama lagi untuk melihat ayah kembali. “Ayah Dewi sayang ayah!!”
* * *
Ku buka jendela kamarku, udara pagi begitu sejuknya hari ini purnama kelima, ayah akan kembali hari ini! Aku tersenyum bahagia, kukecup kening Dewa yang masih terlelap. Aku ingin melihatnya bermain bersama ayah lagi. Aku ingin ketika ayah datang, beliau membawa ibu! Seperti yang selalu diimpikan ayah selama ini. Aku ingin melihat mereka kembali bahagia dalam hangatnya canda.
Setiap detik terasa sangat lama sekali, ku lihat waktu menunjukkan pukul lima sore, ayah belum juga kembali padahal purnama sebentar lagi menampakkan wajah eloknya. Jangan-jangan ayah lupa? Gak ayah gak mungkin lupa, ayah selalu menepati janjinya dengan baik. Ayah bukan seorang pengumbar janji seperti para wakil rakyat.
Terdengar suara gaduh di luar rumah. Aku berharap itu ayah yang membawa pulang ibu dan disambut meriah oleh warga kampung. Aku bergegas keluar rumah melihat apa yang telah terjadi.
“Maaf ini rumahnya Dewi?” tiba-tiba dua orang laki-laki berbadan tegap menghampiriku di teras rumah.
“Ya…saya sendiri. Maaf bapak siapa ya?” aku bertanya dengan penuh keheranan.
“Kami dari kepolisian, kami yang mengurus jenazah ayah anda!” kalimat yang membuatku lemas seakan tulang-tulangku tak ada yang menempel di tubuhku.
“Jenazah ayah?” aku tak percaya akan kalimat itu.
“Ya…ayah anda tertabrak kereta api kemarin malam. Jenazahnya akan segera datang hari ini!” salah satu dari polisi itu menjelaskan, aku sudah tak kuasa lagi untuk berdiri. Tak ada air mata lagi yang ku keluarkan, air mataku telah kering.
“Maaf Mbak Dewi, kami menemukan kertas ini di saku korban!” polisi itu menyerahkan kertas putih yang sebagian terlumuri oleh darah. Darah ayah! Ku terima kertas itu dengan tangan gemetar.
Dewi dan Dewa anakku,
Maafkan ayah Nak, karena ayah tak bisa menepati janji akan bertemu kalian di purnama kelima. Percayalah kalian bisa menghadapi kehidupan ini tanpa ayah dan ibu. Karena Tuhan tidak akan memberikan cobaan kepada umatnya melebihi kemampuannya. Ayah juga minta maaf pada kalian karena selama lima purnama ini ayah menyembunyikan sesuatu dari kalian. Sebenarnya, ibu kalian telah tiada satu tahun yang lalu. Ibu tak kuat menahan semua derita hidupnya selama di kota. Ia mengiris nadinya sendiri, dan ibu tidak bisa tertolong. Darah yang dikeluarkannya terlalu banyak. Jika kalian rindu pada ayah dan ibu tataplah langit terlebih apabila purnama datang. Kerinduan kalian akan terobati. Percayalah ayah dan ibu akan selalu ada di dekat kalian. Peluk dan cium dari ayah dan ibu akan selalu bersama kalian.
Tak terasa surat itu jatuh dari genggamanku, seiring itu jenazah ayah telah datang, aku berlari menuju mobil ambulans. Kulihat ayah terbujur kaku di dalam peti mati. Namun senyumnya masih sempat kulihat di wajahnya yang pucat. Ku peluk erat jenazah ayahku. “Selamat Jalan Ayahku,….”